Menjadi orang tua bukanlah hal mudah. Ada masa di mana anak begitu penurut, tapi ada pula masa di mana mereka tampak “melawan”—membantah, tidak mau mendengarkan, atau bahkan menentang setiap ucapan kita.
Sebagian orang tua langsung merasa sedih, kesal, atau bahkan marah. “Kok anakku jadi berubah?” begitu pikirnya. Tapi sebenarnya, perilaku “melawan” itu tidak selalu berarti anak menjadi nakal atau durhaka. Ada banyak faktor di baliknya, mulai dari perkembangan psikologis, cara komunikasi, hingga contoh dari lingkungan.
Dalam artikel ini, kita akan bahas secara mendalam:
-
Apa sebenarnya yang membuat anak sering melawan
-
Bagaimana memahami fase tumbuh kembangnya
-
Kesalahan umum orang tua yang tanpa sadar memicu perlawanan
-
Serta cara-cara menghadapi anak dengan bijak tanpa kehilangan wibawa dan kasih sayang
Mari kita mulai dengan memahami dulu makna di balik perilaku “melawan” itu sendiri.
🧠 1. Apa Sebenarnya Arti “Melawan” pada Anak?
Banyak orang tua menganggap anak melawan ketika ia:
-
Tidak mau menurut perintah
-
Sering membantah atau berargumen
-
Menunjukkan ekspresi tidak senang atau menantang
-
Melakukan hal yang dilarang berulang kali
-
Sedang mencari identitas diri dan otonomi
-
Ingin didengar dan dihargai pendapatnya
-
Atau bahkan sekadar bereksperimen dengan batasan sosial
🌱 2. Fase Perkembangan yang Membuat Anak Tampak Melawan
a. Usia Balita (2–5 tahun): Fase “Aku Bisa Sendiri!”
Pada usia ini, anak mulai menyadari bahwa dirinya terpisah dari orang tua. Ia ingin mencoba hal-hal sendiri, misalnya:
-
Memakai baju sendiri
-
Makan sendiri
-
Memilih mainan sendiri
Ketika orang tua membantu terlalu banyak atau memberi perintah berlebihan, anak bisa bereaksi dengan:
“Aku bisa sendiri!” atau “Jangan, aku nggak mau!”
b. Usia Sekolah (6–12 tahun): Fase Mencari Aturan dan Keadilan
Pada usia ini, anak sudah mulai memahami konsep benar dan salah, tapi juga mulai menilai keadilan. Ia mulai mempertanyakan keputusan orang tua:
“Kenapa aku nggak boleh main, padahal teman-teman boleh?”“Kenapa kakak boleh tidur lebih malam dari aku?”
c. Usia Remaja (13–18 tahun): Fase Pencarian Identitas dan Kebebasan
-
Dianggap dewasa dan mandiri
-
Diperlakukan setara dalam diskusi
-
Dihargai pendapat dan privasinya
Namun, orang tua sering masih memperlakukan mereka seperti anak kecil. Akibatnya, muncul konflik:
“Mama nggak ngerti aku!”“Ayah selalu mau aku jadi kayak yang Ayah mau!”
🔍 3. Mengapa Anak Bisa Melawan: Faktor Utama yang Sering Terlupakan
Berikut beberapa faktor umum yang sering membuat anak tampak “melawan”:
a. Kurangnya Keterhubungan Emosional
“Orang tuaku cuma nyuruh, bukan mendengarkan.”
Anak yang tidak merasa dekat secara emosional akan lebih mudah menolak atau menentang, sebagai bentuk ekspresi bahwa mereka juga ingin diperhatikan, bukan hanya diarahkan.
b. Peraturan yang Terlalu Kaku atau Tidak Konsisten
Konsistensi sangat penting. Anak akan lebih menghargai aturan yang jelas, konsisten, dan punya alasan logis.
c. Meniru Perilaku Orang Dewasa
Sebaliknya, anak yang tumbuh di lingkungan tenang dan penuh penghargaan akan lebih mudah berkomunikasi dengan cara yang sopan.
d. Kebutuhan untuk Dihargai dan Diberi Ruang
Melawan bisa juga berarti anak ingin mengatakan:
“Aku ingin dipercaya.”“Aku ingin dianggap mampu.”
Orang tua yang terlalu mengontrol justru membuat anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan rasa tanggung jawabnya.
e. Perubahan Emosi dan Hormonal
⚡ 4. Kesalahan Umum Orang Tua Saat Menghadapi Anak yang Melawan
a. Menganggap Anak Musuh, Bukan Partner
Ketika anak membantah, banyak orang tua langsung marah dan berkata:
“Kamu berani lawan orang tua?”
b. Berteriak atau Mengancam
c. Kurang Memberi Penjelasan
“Kamu nggak boleh main HP setelah jam 9 karena tubuhmu butuh istirahat supaya besok bisa fokus belajar.”
Penjelasan sederhana membuat anak mengerti alasan di balik aturan, bukan sekadar menurut karena takut.
d. Mengabaikan Perasaan Anak
Contoh:
Anak tidak mau sekolah bukan karena malas, tapi mungkin karena takut dibully.
Dengarkan dulu alasannya sebelum menilai.
💬 5. Strategi Menghadapi Anak yang Sering Melawan
Sekarang mari bahas bagian terpenting: bagaimana cara menghadapi anak yang melawan dengan bijak dan efektif.
a. Tenangkan Diri Sebelum Merespons
b. Dengarkan Tanpa Menyela
“Mama paham kamu kecewa.”“Ayah ngerti kamu merasa nggak adil.”
Empati bukan berarti membenarkan, tapi menghargai perasaan anak sebelum memberi nasihat.
c. Gunakan Nada Suara dan Bahasa Tubuh yang Lembut
d. Buat Aturan Bersama Anak
Daripada membuat aturan sepihak, ajak anak berdiskusi:
“Menurut kamu, aturan jam tidur yang pas itu jam berapa?”“Kita sepakat ya, kalau lewat jam itu berarti kamu sendiri yang tanggung konsekuensinya.”
Dengan melibatkan anak, mereka merasa memiliki tanggung jawab atas keputusan yang dibuat.
e. Berikan Pilihan, Bukan Paksaan
Daripada berkata, “Kamu harus belajar sekarang!”, coba ubah menjadi:
“Kamu mau belajar sekarang atau 15 menit lagi setelah istirahat?”
Dengan pilihan seperti ini, anak merasa tetap punya kendali, padahal arah akhirnya sama: belajar.
f. Berikan Konsekuensi yang Logis dan Konsisten
Konsekuensi yang logis bisa seperti:
“Kalau kamu telat mandi, waktu mainmu berkurang 10 menit.”
Konsistensi akan membuat anak belajar sebab-akibat dengan jelas.
g. Puji Usahanya, Bukan Hanya Hasilnya
Contoh pujian efektif:
“Mama bangga kamu berusaha bicara dengan sopan walau lagi kesal.”“Ayah senang kamu mau dengarkan dulu sebelum menjawab.”
h. Jadilah Teladan
Tak perlu menuntut anak berubah duluan—mulailah dari diri kita sebagai contoh nyata.
🧩 6. Studi Kasus dan Solusi
Agar lebih konkret, berikut beberapa contoh kasus yang sering terjadi dan cara menanganinya.
Kasus 1: Anak Membantah Saat Diminta Belajar
Anak: “Aku capek! Nggak mau belajar!”Orang tua: “Kamu kok melawan terus sih?!”
“Kamu capek ya? Istirahat dulu 10 menit, nanti Mama bantu belajar yang susah.”
Dengan begitu, anak merasa dimengerti dan lebih siap belajar.
Kasus 2: Anak Remaja yang Sering Menentang Aturan
Anak: “Teman-temanku boleh pulang malam, kenapa aku nggak?”
“Mama tahu kamu mau main sama teman, tapi keamanan juga penting. Gimana kalau kita atur jam pulang jam 9 malam, asal kamu kabarin lokasi dan teman yang bareng?”
Kompromi seperti ini tetap menjaga batas sambil memberi anak rasa dipercaya.
Kasus 3: Anak Kecil Menolak Disuruh Mandi
Anak: “Aku nggak mau mandi! Aku mau main terus!”
“Kalau kamu mandi sekarang, nanti kita bisa baca buku cerita bareng.”
Gunakan sistem reward positif, bukan paksaan.
Kasus 4: Anak Sering Membantah Saat Dimarahi
“Mama nggak mau teriak-teriak. Kita bicara lagi nanti kalau kamu sudah tenang, ya.”
Dengan cara ini, anak belajar bahwa kemarahan tidak menyelesaikan masalah.
💖 7. Kunci Utama: Kedekatan Emosional
Hubungan yang hangat antara orang tua dan anak adalah pondasi utama disiplin positif.
-
Menyapa dengan pelukan
-
Menghabiskan waktu berkualitas tanpa gadget
-
Mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi
Semakin kuat ikatan emosional, semakin kecil kemungkinan anak melawan karena mereka tahu orang tuanya berpihak pada mereka, bukan melawan mereka.
🌤️ 8. Saat Anak Tetap Melawan, Apa yang Harus Dilakukan?
-
Evaluasi kembali gaya pengasuhan.Apakah terlalu otoriter? Terlalu longgar?Temukan keseimbangan antara kasih sayang dan ketegasan.
-
Beri waktu untuk perubahan.Anak butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru atau cara bicara kita.
-
Konsultasi jika perlu.Jika perilaku melawan sudah mengganggu keseharian (misalnya anak sering marah ekstrem atau menolak komunikasi), jangan ragu konsultasi ke psikolog anak.
Itu bukan tanda gagal, justru tanda bahwa kita peduli.
🌈 9. Menanamkan Nilai Hormat Tanpa Menekan
-
Rasa dihargai
-
Keterbukaan
-
Kepercayaan dua arah
💡 10. Kesimpulan: Anak Melawan Itu Tidak Selalu Buruk
Tugas orang tua bukan memadamkan perlawanan itu, tapi mengarahkannya agar tumbuh menjadi kekuatan yang positif.
Kuncinya adalah:
-
Dengarkan sebelum menilai
-
Tunjukkan empati, bukan kemarahan
-
Bangun komunikasi dua arah
-
Jadilah contoh nyata
Dengan begitu, anak belajar bahwa berbeda pendapat bukanlah dosa, dan hubungan keluarga tetap bisa hangat meski kadang tidak sejalan.