Postingan

Cara Menjadi Orang Tua yang Tenang di Saat Anak Tantrum

Setiap orang tua pasti pernah mengalaminya.

Anak yang biasanya ceria tiba-tiba berteriak di tengah supermarket hanya karena tidak dibelikan mainan. Atau mungkin mereka menangis histeris di rumah saat waktu tidur tiba. Mungkin juga mereka menendang, memukul, atau menjatuhkan diri ke lantai hanya karena sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan mereka.

Dan di saat itu, kita — orang tua — sering merasa malu, kesal, bingung, bahkan bersalah.
“Kenapa anakku begini?”
“Aku sudah sabar, tapi kok tetap marah-marah?”
“Orang lain pasti menilai aku gagal jadi orang tua.”

Padahal, tantrum bukan tanda bahwa anak nakal atau orang tua gagal. Tantrum adalah bagian alami dari tumbuh kembang anak.
Yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita, sebagai orang tua, tetap tenang dan bijak saat badai emosi anak datang.

Artikel ini akan mengajak Anda memahami:

  • Kenapa anak mengalami tantrum,

  • Apa yang terjadi di dalam otak anak ketika mereka marah,

  • Mengapa orang tua mudah ikut terpancing, dan

  • Bagaimana cara efektif untuk tetap tenang dan membantu anak mengelola emosinya.

Mari kita pelajari bersama langkah-langkah menjadi orang tua yang lebih tenang, penuh kasih, dan sadar emosi di tengah badai kecil bernama “tantrum”.

1. Memahami Akar dari Tantrum Anak

Sebelum kita bisa menenangkan diri saat anak tantrum, kita perlu memahami dulu apa sebenarnya yang sedang terjadi.

1.1 Tantrum adalah Bahasa Anak untuk Mengungkapkan Emosi

Bagi anak kecil, terutama usia di bawah 6 tahun, dunia terasa sangat besar dan sulit dikendalikan.
Mereka belum punya kemampuan untuk menyampaikan perasaan dengan kata-kata yang jelas. Jadi ketika marah, kecewa, lelah, atau lapar, mereka mengekspresikannya dengan tangisan, teriakan, atau tindakan impulsif.

Tantrum, dalam hal ini, sebenarnya bukan bentuk “pembangkangan”, tapi cara anak meminta tolong:

“Aku tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaanku!”
“Aku kewalahan!”
“Tolong bantu aku mengatasinya!”

Jika kita melihat tantrum dari sudut pandang ini, maka rasa marah atau malu akan mulai berubah menjadi empati.

1.2 Otak Anak Saat Tantrum: Logika Mati, Emosi Aktif

Ketika anak tantrum, bagian otak yang bertanggung jawab atas logika — yaitu prefrontal cortex — belum bekerja sempurna.
Sebaliknya, bagian yang mengatur emosi — amygdala — justru sangat aktif. Maka tak heran, anak tidak bisa berpikir rasional ketika sedang marah.

Karena itu, saat anak sedang menangis keras, membujuk atau menasehati dengan kata-kata logis seperti:

“Ayo berhenti nangis, nanti malu!”
“Kamu harus bersyukur, tidak semua anak punya mainan!”

…tidak akan berhasil. Yang dibutuhkan anak bukan logika, tapi rasa aman dan diterima.

1.3 Tantrum Adalah Bagian dari Proses Belajar Emosi

Setiap kali anak mengalami tantrum, sebenarnya mereka sedang berlatih mengelola emosi.
Mereka sedang belajar:

  • Bagaimana rasanya marah, kecewa, atau frustrasi.

  • Bagaimana tubuh mereka bereaksi terhadap emosi itu.

  • Bagaimana reaksi orang tua saat mereka marah.

Jika orang tua mampu mendampingi dengan tenang, anak akan belajar bahwa:

“Aku boleh marah, tapi aku tetap aman dan dicintai.”

Namun jika setiap tantrum disambut dengan teriakan atau ancaman, maka anak belajar bahwa emosi itu sesuatu yang menakutkan atau salah.

2. Mengapa Orang Tua Mudah Ikut Marah Saat Anak Tantrum

Mari jujur — mendengar anak menjerit bisa membuat siapa pun kehilangan kesabaran. Tapi mengapa hal itu begitu memicu emosi kita?

2.1 Luka Emosional Masa Kecil

Banyak orang tua tumbuh dalam budaya yang menilai bahwa “anak baik adalah anak yang diam dan patuh.”
Ketika kita menghadapi anak yang berteriak, alam bawah sadar kita mengingatkan pengalaman dulu saat kita sendiri tidak boleh marah atau menangis.
Hasilnya? Kita mudah tersulut karena tanpa sadar merasa “tidak dihormati” atau “gagal mendidik”.

Padahal, yang sebenarnya terjadi hanyalah anak sedang berproses mengenali emosinya.

2.2 Tekanan dari Lingkungan dan Pandangan Orang Lain

Salah satu situasi paling sulit adalah saat tantrum terjadi di tempat umum.
Tatapan orang-orang di sekitar sering membuat kita merasa malu. Kita pun tergesa-gesa menghentikan tantrum anak — bukan karena ingin membantu anak, tapi karena takut dinilai.

Kita berpikir:

“Nanti orang-orang bilang aku tidak bisa mendidik anak.”

Padahal, reaksi tergesa-gesa sering membuat anak semakin marah karena mereka merasa tidak didengarkan.

2.3 Kelelahan Fisik dan Mental Orang Tua

Kadang, kita marah bukan karena perilaku anak, tapi karena kita sendiri sedang lelah, stres, atau kurang tidur.
Menjadi orang tua bukan pekerjaan ringan — apalagi jika harus mengurus pekerjaan, rumah, dan kebutuhan anak sekaligus.

Saat energi kita rendah, kemampuan menahan emosi pun menurun. Maka, menjaga diri sendiri juga bagian penting dari menjadi orang tua yang tenang.

3. Strategi Menjadi Orang Tua yang Tenang Saat Anak Tantrum

Sekarang kita masuk ke bagian utama: bagaimana caranya tetap tenang dan efektif saat anak sedang meledak emosinya.

3.1 Tarik Napas, Tenangkan Diri Dulu

Langkah pertama bukan menenangkan anak — tapi menenangkan diri sendiri.

Coba lakukan ini:

  1. Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik.

  2. Tahan napas 2 detik.

  3. Hembuskan perlahan selama 6 detik.

  4. Ulangi 3 kali.

Teknik sederhana ini membantu menurunkan detak jantung dan menenangkan sistem saraf.
Ketika kita tenang, anak akan lebih mudah meniru energi itu. Anak tidak belajar dari kata-kata kita, tapi dari ketenangan yang kita tunjukkan.

3.2 Turunkan Nada, Bukan Suara

Kebanyakan orang tua otomatis menaikkan volume suara ketika anak berteriak. Namun, hal ini justru memperburuk situasi.
Sebaliknya, cobalah menurunkan volume dan kecepatan bicara.

Bicara dengan lembut dan singkat seperti:

“Mama tahu kamu marah, tapi Mama di sini.”
“Kamu boleh sedih, ayo duduk dulu.”

Nada tenang memberi sinyal aman bagi otak anak, membuat mereka perlahan bisa menurunkan intensitas emosinya.

3.3 Beri Ruang Aman untuk Emosi

Saat anak tantrum, mereka membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosinya tanpa takut dimarahi.
Jika di rumah, bawa anak ke tempat yang lebih tenang, seperti kamar atau sudut favoritnya.
Jika di luar rumah, peluk anak lembut atau berdiri di sampingnya dengan wajah tenang — biarkan anak tahu Anda hadir tanpa menghakimi.

Hindari kalimat seperti:

  • “Udah ah, malu!”

  • “Kamu bikin Mama capek!”

Ganti dengan:

  • “Kamu lagi marah banget ya? Mama tahu, gak apa-apa.”

  • “Kita tenangin diri dulu yuk, baru ngomong.”

3.4 Validasi Perasaan Anak

Validasi berarti mengakui perasaan anak tanpa langsung menghakimi atau menyalahkan.
Contoh:

“Kamu sedih karena mainannya rusak, ya?”
“Kamu kecewa karena gak bisa nonton TV dulu. Aku ngerti.”

Ketika anak merasa dimengerti, emosi mereka mulai menurun. Mereka belajar bahwa perasaan itu tidak perlu ditekan, tapi bisa diungkapkan dengan aman.

3.5 Jangan Ambil Secara Pribadi

Ketika anak berteriak “Aku benci Mama!”, bukan berarti mereka sungguh membenci Anda.
Mereka hanya sedang tidak mampu mengontrol kata-kata di tengah emosi besar. Jangan tanggapi dengan amarah, tapi dengan kesadaran bahwa anak sedang butuh pertolongan, bukan hukuman.

3.6 Tetap Tegas, Tapi Hangat

Menjadi orang tua yang tenang bukan berarti membiarkan semua perilaku.
Kita tetap bisa menegakkan batas, namun dengan cara lembut dan penuh kasih.

Contoh:

❌ “Kalau kamu teriak lagi, Mama tinggal!”
✅ “Mama tahu kamu marah, tapi kamu gak boleh pukul. Kalau marah, kita bisa pukul bantal, ya.”

Kelembutan dan ketegasan bisa berjalan berdampingan.

4. Setelah Tantrum Reda: Waktu untuk Terhubung

Setelah badai mereda, anak biasanya merasa lelah, malu, atau bingung.
Inilah momen penting untuk membangun kembali koneksi antara Anda dan anak.

4.1 Peluk dan Tenangkan

Pelukan bisa menjadi cara sederhana namun sangat kuat untuk menenangkan sistem saraf anak.
Anda bisa berkata pelan:

“Sekarang sudah tenang ya, Nak. Mama di sini.”

Pelukan bukan berarti memanjakan, melainkan memberikan rasa aman.

4.2 Bicara Setelah Emosi Turun

Setelah anak benar-benar tenang, barulah Anda bisa mengajak bicara tentang apa yang terjadi.
Gunakan kalimat seperti:

“Tadi kamu marah banget ya karena gak dibeliin mainan. Gak enak rasanya, ya?”
“Lain kali kalau kamu merasa marah, coba bilang sama Mama, ya.”

Ini membantu anak belajar mengenali dan menamai emosinya — langkah penting menuju kedewasaan emosional.

4.3 Refleksi untuk Orang Tua

Tanyakan pada diri sendiri:

  • Apa yang membuatku paling sulit saat anak tantrum?

  • Apakah aku sudah cukup istirahat dan tenang?

  • Apakah reaksiku tadi membantu anak merasa aman?

Dengan refleksi rutin, kita bisa semakin sadar dan berkembang menjadi orang tua yang lebih sabar.

5. Tips Tambahan untuk Menjaga Ketenangan Orang Tua

Berikut beberapa cara praktis untuk melatih ketenangan setiap hari:

5.1 Jaga Kesehatan Diri

Tidur cukup, makan bergizi, dan sempatkan waktu istirahat. Orang tua yang lelah akan lebih mudah tersulut.

5.2 Beri Waktu untuk Diri Sendiri

Ambil waktu “me time” walau sebentar — minum teh hangat, membaca buku, atau berjalan santai. Ketenangan batin menular pada cara Anda menghadapi anak.

5.3 Jangan Bandingkan Anak dengan Anak Lain

Setiap anak memiliki cara sendiri dalam mengekspresikan emosi. Fokuslah pada kemajuan kecil, bukan perbandingan.

5.4 Bangun Rutinitas yang Konsisten

Anak lebih tenang jika mereka tahu apa yang akan terjadi. Jadwal tidur, makan, dan bermain yang teratur bisa mengurangi potensi tantrum.

5.5 Minta Bantuan Jika Perlu

Tidak ada salahnya berbagi cerita atau meminta dukungan dari pasangan, teman, atau psikolog anak. Mengasuh anak bukan kompetisi — ini perjalanan yang bisa dijalani bersama.

6. Menumbuhkan Pola Asuh yang Damai

Tantrum hanyalah satu bagian kecil dari perjalanan besar menjadi orang tua.
Saat kita belajar tetap tenang, kita sedang:

  • Mengajarkan anak cara menghadapi emosi dengan sehat,

  • Menumbuhkan kepercayaan dan kedekatan,

  • Dan menciptakan rumah yang penuh kasih, bukan ketakutan.

Anak-anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna — mereka hanya membutuhkan orang tua yang hadir, memahami, dan mau belajar.

Kesimpulan: Tenang Adalah Kekuatan, Bukan Kelemahan

Menjadi orang tua yang tenang bukan berarti tidak pernah marah.
Artinya, Anda memilih untuk tetap sadar di tengah badai emosi — tidak bereaksi secara impulsif, tetapi merespons dengan kasih.

Ketika Anda tenang:

  • Anak merasa aman,

  • Hubungan menjadi lebih hangat,

  • Dan setiap tantrum berubah menjadi kesempatan untuk belajar bersama.

Ingatlah: tidak ada orang tua yang selalu sabar. Tapi setiap kali Anda mencoba menenangkan diri, Anda sudah melakukan sesuatu yang luar biasa — tidak hanya untuk anak Anda, tapi juga untuk diri sendiri.

Posting Komentar