Postingan

Jangan Cemaskan Hari Esok ?? Bohong !!!


Sering kali kita mendengar nasihat yang berbunyi, “Jangan cemaskan hari esok, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri.” Kalimat ini terdengar indah, menenangkan, dan memberi harapan. Ia bahkan berasal dari sumber yang sangat kuat bagi banyak orang—yaitu kitab suci. Namun, ketika hidup semakin pelik, tagihan terus berdatangan, masa depan terasa tak menentu, muncul suara sumbang: “Kalau tidak mencemaskan hari esok, bagaimana bisa bertahan?”

Beberapa orang bahkan menganggap nasihat itu sebagai "bohong", atau tidak realistis. Namun, benarkah begitu? Mari kita telaah secara mendalam dan objektif, sambil menimbang dari sisi logika, psikologi, agama, dan praktik kehidupan sehari-hari.


1. Asal-usul Kalimat: Konteks Spiritual dan Filosofis

Kalimat “jangan cemaskan hari esok” berasal dari ajaran spiritual. Dalam Alkitab, Matius 6:34 tertulis:

"Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."

Sementara dalam Islam, banyak ayat dan hadis yang senada seperti:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa: 29)

“Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, maka sungguh kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung yang keluar di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)

Inti dari ajaran-ajaran ini adalah mengajarkan manusia untuk hidup dalam damai, fokus pada usaha hari ini, dan mempercayakan hasil kepada Tuhan. Namun sayangnya, di tengah tekanan hidup modern, pesan ini sering dianggap “tidak praktis”.


2. Mengapa Banyak Orang Menganggapnya “Bohong”?

Ada beberapa alasan mengapa sebagian orang menganggap nasihat ini tidak realistis, bahkan bohong:

a. Kondisi ekonomi yang sulit

Seseorang yang hidup pas-pasan, tanpa tabungan, atau tidak tahu harus makan apa besok pagi, wajar merasa cemas. Kata-kata bijak seperti "jangan khawatir" justru terdengar seperti candaan pahit yang tidak menyentuh realita.

b. Budaya kerja dan kompetisi

Kita hidup di era kompetitif. Siapa yang tidak memikirkan masa depan, akan tertinggal. Dunia kerja menuntut perencanaan jangka panjang, target, dan strategi. Maka wajar jika seseorang merasa bertolak belakang dengan ajaran "hidup hari ini saja."

c. Pengalaman pahit masa lalu

Orang yang pernah mengalami krisis berat (PHK, kebangkrutan, atau kemiskinan ekstrem), cenderung trauma. Mereka merasa wajib mencemaskan hari esok agar tidak terulang kesalahan yang sama.


3. Membedakan “Mencemaskan” dan “Merencanakan”

Yang sering salah kaprah adalah menyamakan cemas dengan rencana.

  • Mencemaskan hari esok adalah memikirkan kemungkinan buruk, tanpa solusi. Penuh ketakutan dan imajinasi negatif.

  • Merencanakan hari esok adalah mempersiapkan langkah-langkah, tapi tetap tenang jika hasilnya tidak sempurna.

Ajaran "jangan cemaskan hari esok" bukan berarti anti-perencanaan, melainkan anti-ketakutan berlebihan. Bahkan Nabi Yusuf dalam Al-Qur’an merencanakan masa depan Mesir selama 7 tahun menghadapi paceklik. Tapi beliau tetap tenang, tidak panik, dan mengajarkan strategi bertahan yang masuk akal.


4. Kapan Rasa Cemas Menjadi Masalah?

Cemas adalah emosi manusiawi. Tapi ketika cemas berubah menjadi kecemasan kronis, dampaknya sangat merugikan:

  • Secara fisik: gangguan tidur, tekanan darah tinggi, mudah lelah

  • Secara mental: stres, depresi, overthinking, burnout

  • Secara spiritual: kehilangan rasa syukur dan keyakinan

  • Secara sosial: menarik diri, mudah tersinggung, sulit bersosialisasi

Ajaran untuk tidak mencemaskan hari esok sebenarnya adalah perlindungan psikologis agar kita tidak dikalahkan oleh pikiran sendiri.


5. Bagaimana Cara Bijak Menyikapi Hari Esok?

Berikut beberapa cara agar kita tetap realistis namun tidak diperbudak oleh kecemasan:

a. Fokus pada usaha hari ini

Apa yang bisa dilakukan hari ini, lakukan sebaik mungkin. Jangan menunda. Tindakan hari ini adalah fondasi hari esok.

b. Miliki rencana jangka pendek dan panjang

Rencana bukanlah bentuk kecemasan, tapi bentuk tanggung jawab. Namun, rencana tidak perlu diiringi ketakutan.

c. Bangun kebiasaan menabung dan hemat

Jaminan masa depan tidak harus selalu berbentuk pensiunan. Disiplin menabung dan investasi kecil-kecilan jauh lebih berguna dari sekadar berharap.

d. Perbanyak berdoa dan meditasi

Doa menenangkan batin, mengurangi cemas, dan memberi arah hidup. Meditasi dan tafakur membantu kita melepaskan ketegangan.

e. Belajar dari masa lalu, bukan hidup di dalamnya

Gunakan pengalaman sebagai bahan evaluasi, bukan tempat tinggal pikiran. Masa lalu cukup dijadikan guru, bukan penjara.


6. Contoh Nyata Orang yang Tidak Mencemaskan Hari Esok

Banyak tokoh inspiratif yang hidup dengan prinsip ini, bukan karena mereka “bodoh”, tapi karena mereka “yakin”.

  • Bu Susi Pudjiastuti, sebelum jadi Menteri, hidup dari usaha kecil dan tidak punya jaminan hari tua. Tapi fokusnya adalah kerja keras hari ini, bukan ketakutan akan kegagalan esok.

  • Petani kecil di desa, mereka tidak punya asuransi, tapi tetap menanam benih setiap musim dengan harapan dan semangat.

  • Pekerja lepas atau seniman, hidup dari proyek ke proyek. Tidak ada gaji tetap, tapi mereka tetap berkarya dengan cinta dan percaya rezeki akan datang.


7. Tanda Bahwa Kita Sudah Terlalu Mencemaskan Hari Esok

  • Selalu merasa kurang, meski sudah cukup

  • Takut kehilangan segalanya setiap saat

  • Tidak bisa menikmati momen sekarang

  • Terobsesi dengan kontrol atas segala hal

  • Sulit tidur karena memikirkan skenario buruk

Kalau kamu merasakan sebagian besar dari itu, mungkin waktunya mengambil jeda. Tarik napas. Renungkan ulang hubunganmu dengan waktu.


8. Kesimpulan: Bohong atau Butuh Pendalaman?

Jadi, apakah “jangan cemaskan hari esok” itu bohong? Tidak. Ia bukan bohong, tapi salah dimengerti.

Kalimat itu bukan berarti hidup tanpa rencana, atau pasrah fatalis. Sebaliknya, itu adalah seruan untuk hidup dengan tenang, berpijak pada saat ini, dan tidak dikendalikan oleh ketakutan yang belum tentu terjadi.

Realitas memang keras. Tapi ketenangan bukanlah kemewahan, melainkan keterampilan mental yang bisa dipelajari.


Penutup: Kita Butuh Harapan, Bukan Ketakutan

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan rasa takut. Hari esok memang penuh misteri, tapi bukan berarti kita harus hidup dengan ngeri. Persiapkan dengan bijak, bekerja dengan jujur, berdoa dengan tulus—lalu nikmati harimu.

Karena seringkali, keajaiban justru datang saat kita berhenti mencemaskan dan mulai mempercayai proses hidup itu sendiri.

Posting Komentar